Profil Ir. Juwono Saroso
“Sang Profesor” dan Matoa
Ir Juwono Saroso
|
SIANG itu,
suasana lobi kampus Majapahit Tourism Academy (Matoa) ramai sekali. Para
mahasiswa berpakaian seragam ala chef profesional: baju putih berpadu bawahan
warna gelap pada ngumpul. Mereka istirahat, setelah setengah hari menimba ilmu.
Ada yang bercengkerama di pilar gedung yang dilingkari kursi santai. Tak
sedikit pula yang menyatu dalam meja makan yang tersedia di café kampus.
Di tempat yang sama, tampak pria berpakaian rapi berbaur di antara para
mahasiswa. Sesekali, dia melihat handphone di tangannya, sembari melirik tamu
yang datang. “Apa kabar profesor,” sapa seorang wanita paruh baya. Pria
berkacama minus itu menjawabnya dengan ramah sembari melempar senyum. “Puji
Tuhan, kabar baik,” ucap pria yang membalut tubuhnya dengan kemeja bergaris
vertical warna terang ini.
Ya, begitulah keseharian Ir Juwono Saroso, Presiden Direktur Tristar Group.
Kendati posisinya sudah menjadi pimpinan, dia enggan duduk manis di ruang
kerjanya, yang berada di lantai dua. “Setiap hari saya harus face to face
sama mereka. Biar saya tahu keluhannya dan kekurangan kita apa saja,” ucapnya
kalem. Dan, kepedulian inilah yang membuat mahasiswa, serta para dosen dan
pegawainya merasa nyaman tinggal di Graha Tristar, yang bertengger di Jalan
Raya Jemursari 244.
Saat disinggung soal sebutan “profesor” oleh tamu tadi, Juwono menyebut
gelaran itu disandangnya sejak masa sekolah SMA. Maklum, sejak menamatkan
studinya di Fakultas Kimia (MIPA) Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya
(ITS), dia memang belum lagi meneruskan karir akademisnya. “Mulai temen
sampai pendeta pada bingung, saya dikira profesor tenanan (beneran,
red),” aku alumnus SMAK Saint Louis Surabaya ini, lantas tersenyum.
Bakat Entrepenuer-nya mulai kelihatan sejak kecil. Diawali dengan
membantu ibundanya berjualan kue Kuping Tikus, saat masih duduk di bangku
Sekolah Dasar. Jajanan ringan ini, dia titipkan ke ibu-ibu mlijo di daerah
Pandegiling Surabaya. Saat menginjak SMP, Juwono sudah menjadi guru les
privat organ dan piano. Dia benar-benar mandiri sejak usia sekolah. “Mama dan
papa mengajarkan kepada kami agar tidak putus asa. Bekerja keras dan terus
belajar,” tegasnya.
Buah kerja keras dan belajar inilah yang membuat Juwono tidak pernah
goyah dengan dinamika kehidupan. Saat masih menjadi mahasiswa, dia sudah mampu menjadi
investor sebuah home industry, yang memproduksi Stemvet & oli
samping warna merah dan hijau untuk motor 2-tak. Hasil produksinya, dipasarkan
di pedagang bensin eceran. Hanya dalam setahun, 1991-an, usahanya membooming.
Dia pun harus mempekerjakan lima orang bergaji.
Malang tak bisa ditolak. Tatkala usahanya mulai berkembang pesat, salah
seorang sales yang direkrutnya, ngemplang uang perusahaan. “Uang
tagihan dipakai kepentingan pribadi. Tentu saja klien saat ditagih
marah-marah,” kenangnya. Akibatnya, pelanggan tersebut melaporkannya ke pihak
yang berwajib. “Saya dituduh oli samping yang kami produksi tidak berijin,”
imbuhnya.
Karuan saja, usaha yang diproduksi secara kolaborasi antara dosen
pembimbingnya di ITS Anton J Hartono dengan Kakak Mamanya Liong Guan itu
ditutup. Juwono pun harus bertanggungjawab. Dia habis-habisan berurusan dengan
aparat. Harta benda hasil keringatnya ludes. Mulai piano, organ kesayangan,
sampai mobil hasil tabungannya habis dilego. “Anda kan tahu sendiri, kalau
berurusan dengan polisi, ibarat kita kehilangan kambing, sapipun melayang,”
kilahnya
Efek dari peristiwa itu, membuat Juwono langsung kolaps. Dia menganggur
setelah tamat kuliah. Beruntung sekali, ijazah yang digenggamnya pada 1991,
bisa dipergunakan masuk menjadi karyawan PT Tambak Agung Abadi di Mojokerto. Di
pabrik gula cair yang bahan bakunya dari singkong ini, dia ditempatkan di
bagian Quality Control (QC) dan Research & Development (R&D). Hanya dua
tahun bekerja, kemudian dia resign dan memilih pulang ke Surabaya.
Juwono agaknya lebih suka bekerja yang sesuai dengan bidangnya, chemistry.
Tak heran jika tawaran orang tua muridnya tak ditolak. Di PT Hair Star
Indonesia (HSI) inilah, dia meniti karir baru. Di perusahaan yang
memproduksi rambut dan wig berkualitas ekspor dan pengapalan di AS itu, Juwono
menduduki jabatan sebagai manajer R&D. Selama tiga tahun bekerja di HSI,
pria supel ini mempelajari tentang shamphoo, conditioner, pewarnaan rambut,
obat keriting dan sebagainya.
Hasilnya? Ilmu tersebut bisa ditularkan kepada keluarganya dengan
membuka usaha home industry. Di rumah mama dan kakaknya, Juwono mampu
memproduksi samphoo, conditiomer (cream bath), hand shop, sabun cuci piring dan
pembersih lantai.
Dirasa sudah cukup menimba ilmu di HSI, dia mencari tantangan baru. Bekerja
sebagai tenaga marketing dan technical support PT Ardaya, yang bergerak di
bidang supplier chemical. Pekerjaan ini dijalaninya selama tiga tahun sejak
1994. Juwono sengaja memilih pekerjaan barunya, agar usaha orang tua dan kakaknya
berjalan lancar. Selain itu, dia juga bisa berkomunikasi dengan pabrik-pabrik
kosmetik sekelas PT Johnson and Johnson, Unilever, La Tilips dan berbagai home
industry terkait.
Ada satu lembaran sejarah yang sulit dilupakan. Yaitu, saat menjelang
hengkang dari PT HSI ke PT Ardaya, Juwono bertemu dengan seorang gadis bernama
Evi Muliasari Dewi. Gadis tamatan Farmasi Universitas Surabaya (Ubaya)
ini yang menggantikan posisinya. Namun sebelum meninggalkan perusahaan, dia
harus men-training Evi selama dua bulan. Bak gayung bersambut, benih
cinta kedua insan ini akhirnya bersemi. “Awalnya saya gak mengenalnya. Tapi,
namanya witing trisno soko nggelibet, akhirnya dia jadi istri saya,”
kenang Juwono dengan wajah sumringah.
Bersama Evi, Juwono mulai membuka lembaran usaha baru. Mereka membuka home
industry di rumah kontrakan Jalan Medokan Ayu. Bidang usaha membuat
pelembut pakaian itu, berhasil diproduksi untuk laundry di perhotelan.
Di tahun yang sama, 1997, dia bekerjasama dengan salah seorang importer bahan
kimia, PT Sinar Kimia membentuk perusahaan baru PT Tricipta Agung Sejahtera.
Bersama Freddy dan Ronny, dia berbagi saham.
MENIKAHI EVI MULIASARI DEWI
Usaha partneran ini dijalaninya selama setahun. Pada
tahun 1998, Ir Juwono Saroso akhirnya menentukan pilihan menikahi Evi Muliasari
Dewi. Pengantin baru ini lantas mengurus ijin usaha sendiri dengan mengibarkan
bendera CV Tristar Chemical. Nah, saat itulah awal mulanya nama Tristar muncul.
“Kami memilih nama Tristar itu nggak ada tujuan dan arti apa-apa.
Pokoknya nama itu baik dan saya tidak berfikir soal filosofinya,” kenang
Juwono.
CV Tristar Chemical sendiri kala itu, hanya memproduksi pelembut pakaian
tanpa merek dan menjualnya secara curah. Harganya murah karena tanpa kemasan.
Selain memproduksi, perusahaan ini juga membuka peserta kursus (pelatihan),
meski sebelumnya sempat ditentang orang tuanya.
Keputusan mengintegrasikan kursus dan jual bahan baku itu ternyata berbuah
manis. Pasalnya, saat kursusan ramai dan peminatnya antre, maka permintaan
bahan baku dan mesin juga meningkat. Dia pun harus mendesainkan sendiri mixer
untuk sabun, shampoo dan produk kosmetik.
Jadi setelah kursus, peserta beli bahan baku. Selanjutnya peserta pesan
mesin untuk mendukung produksinya. Dampaknya, usaha Juwono ramai dan bahan baku
serta mesin pendukungnya laris manis. Pelaku industri rumahan pun, tumbuh bak
jamur di musim penghujan.
Merasa tersaingi, beberapa perusahaan besar membuat second produk
dengan harga bersaing dengan produk industri rumahan. Misalnya, So Klin
meluncurkan Daia (sabun low end), Molto keluarkan produk pelembut pakaian dan
pewangi dengan harga ekonomis. Akibatnya, sejumlah pelaku industri rumahan
terpukul, usahanya jadi sepi dan tidak menarik lagi untuk pelaku bisnis ini.
Bahkan tidak sedikit pelaku usaha ini yang terpaksa gulung tikar.
Untuk membangkitkan semangat usaha pelaku industri rumahan, Juwono dan Evi
memberi solusi dengan menambah varian kursus. Misalnya dengan mulai mengajarkan
cara bikin sirup, permen, minuman dalam kemasan, snack (chiki-chiki secara
manual), yang terinspirasi dari pengalaman membuat kuping tikus.
Dulu lapisan kuping tikus hanya dibalut gula, sekarang dikreasi dengan rasa
barbeque, keju dan balado. Bumbu tersebut ternyata cocok untuk kentang goreng
bumbu (french fries). Ini dilakoni antara 1999 hingga 2000-an. Kursusan yang
paling ramai peminatnya adalah Jelly Cup dan Nata de Coco. Dari sini pihaknya
kenal dengan Nani Wijaya dan Vivi (dari Tabloid Nyata dan Koki).
Dia pun membuka pelatihan Nata de Coco, pelatihan membuat snack, pelatihan
membuat permen, pelatihan membuat minuman dalam kemasan sampai dengan pelatihan
aneka handicraft (lilin, tempelan kulkas, daur ulang kertas, souvenir
pernikahan dan sejenisnya). Dari pengalaman ini, dirinya kemudian mencari
guru-guru (pengajar) yang ahli di bidangnya agar pelatihan bertajuk Home
Industry Class (HIC) yang didukung media cetak tersebut mendapat respons luar
biasa dari masyarakat.
Dari perkenalan degan Nani Wijaya itulah, dia akhirnya juga kenal dengan
Harian Radar Surabaya dan selanjutnya berkolaborasi menggelar pelatihan membuat
cat tembok, pelatihan chroom, pelatihan membuat rokok, pelatihan otomotif
cleaner (membuat shampoo mobil) dan
sebagainya.
Untuk menggarap pelatihan food industry, dirinya merasa selalu
mendapat saingan dari pelaku industri besar, yang impor permen dan minuman
dalam kemasan dari luar negeri seperti frutang, ale-ale, inaco, wong
coco, sirup ABC low grade, dan sebagainya. Akibatnya, usaha food industry
skala rumahan terpukul lagi.
Menyikapi hal tersebut, dirinya banting setir dengan membuka pelatihan
bikin bakso dan mie, meskipun sudah ada mie instan buatan pabrik besar, tetapi
usaha ini masih berkibar, seperti mie ayam kaki lima tetap jalan. Untuk
pelatihan ini peserta diajarkan dengan menggunakan mesin-mesin industri dan
manual.
Selain itu, peserta pelatihan membuat bakso dan mie juga dikenalkan cara
menggunakan mesin pencetak bakso, mesin giling mie, mesin presto bandeng, ayam
tulang lunak, dan sebagainya.
Terinspirasi pelatihan kuliner yang melibatkan guru-guru dari luar,
pihaknya bisa kenal dengan chef Fuuzi dari Hotel Tunjungan. Chef Fuuzi
mengajarkan cara membuat kebab Turki ala Baba Rafi.
Dia juga kenal baik dengan Yanuar Kadaryanto saat mencoba bikin siomay dan
siobak. Selain itu, juga kenal dengan Cicilia dan Petrus untuk belajar meramu
minuman café ala hotel berbintang. Tidak hanya itu, dirinya juga bisa kenalan
dengan Otje Wibowo ketika kali pertama menggelar pelatihan cara membuat terang
bulan.
TRISTAR
Sekitar 2007, atas masukan dari Titi Kasiati, Cicilia, Tri Hartono, Otje
Wibowo dan Yanuar Kadaryanto, mereka mengusulkan kepada pihaknya membuka
sekolah kuliner. Akhirnya sepakat menggelar meeting dan rapat-rapat intensif di
Golden City Mall (Goci Mall), kawasan Dukuh Pakis Surabaya, sehingga lahirlah
Tristar Culinary Institute (TCI) pada 7 Januari 2008. Kantor dan tempat
pelatihannya di Jl Raya Jemursari 234 Surabaya.
Dalam kurun waktu tiga tahun, TCI semakin berkibar. Nama TCI mulai diperhitungkan
pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan usaha kuliner dan industry
pariwisata (tour & travel dan perhotelan). Lompatan besar dilakukan Juwono
yang memboyong TCI sebagai lembaga pendidikan dan pelatihan menempati gedung
baru Graha Tristar pada 29 November 2011. Gedung baru berlantai lima yang
berlokasi di Jl Raya Jemursari 234 ini didesain mewah dan sangat
representatif untuk kegiatan belajar mengajar para mahasiswa jurusan pastry,
culinary, tour & travel dan perhotelan.
Pasalnya, Graha Tristar ini didesain sedemikian rupa sehingga para
mahasiswanya betah belajar di kampus karena selain tersedia ruang kelas ber-AC,
juga tempat praktik yang representatif. Pengelola Tristar Culinary
Institute –sekarang berkembang, namanya menjadi Akademi Pariwisata Majapahit—di
bawah Yayasan Eka Prasetya Mandiri, juga melengkapi gedung barunya itu dengan
berbagai fasilitas penunjang seperti laboratorium tour planning &
guiding, lab front office, lab bartending, lab housekeeping, lab laundry &
pastry, ruang perpustakaan, fasilitas wifi untuk internetan.
Di gedung baru Graha Tristar tersebut juga dilengkapi ruang receptionist,
front office, ticket counter, café, toko bahan kue, dapur pastry dan culinary
berstandar internasional, lobi yang luas dan nyaman. Tak heran jika dalam
kiprahnya selama ini, Akpar Majapahit banyak diminati calon mahasiswa yang
ingin memerdalam pendidikan di bidang pastry, culinary, tour & travel dan
perhotelan, dengan Gelar D3 (ahli madya).
”Sementara itu, tenaga pengajarnya adalah dosen-dosen profesional di
bidangnya seperti Otje Wibowo, Yanuar kadaryanto dan sejumlah praktisi industri
jasa pariwisata demi mewujudkan learning by doing and being. Diantara dosen-dosen itu
sekarang menempuh kuliah S-2 sesuai bidangnya masing-masing,” kata Hedy W
Saleh, Direktur Akpar Majapahit.
MATOA
Kiprah Ir Juwono Saroso di bidang pendidikan ini benar-benar tidak bertepuk
sebelah tangan. Tidak sedikit masyarakat yang tahu akan sepak terjangnya.
Sukses Akpar Majapahit di Surabaya, telah mengilhami lahirnya kampus-kampus
baru. Di Surabaya, Akpar Majapahit sudah membangun tempat pendidikan lagi yang
dinamai Tristar Istitute yang berlokasi di Jalan Kaliwaron. Di Tangerang juga
berdiri Tristar Institute, yang kampusnya berdiri di Bumi Serpong Damai (BSD).
Tristar Institute lebih menitikberatkan pada bidang profesionalisme dan
non-gelar. Mereka hanya belajar dua tahun. Tapi, menurut Juwono, mereka
memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi di Akpar Majapahit. Selain
mengembangkan sayap di BSD dan Kaliwaron, Akpar Majapahit juga bekerjasama
dengan Pemerintah Timor Leste membuat Kristal Fundacao. “Universitas Trisakti
Jakarta juga kami gandeng sebagai kepanjangtanganan Akpar Majapahit,” jelasnya
sembari menyebut ada 15 orang dosen dari Akpar Majapahit yang mendapat
kesempatan melanjutkan kuliah S-2 di Trisakti.
Matoa inilah yang nantinya akan menjadi ujung tombak pengembangan usaha Akpar Majapahit. “Saya
berharap para dosen dan alumni bisa menjadi pendamping atau konsultan para entrepreneur
yang ingin membangun, mengembangkan usahanya yang selaras dengan program
pendidikan di Akpar Majapahit,” jelas Juwono.
Mengapa memilih nama Matoa? Alasannya cukup sederhana. Matoa dipilih
lantaran saat membuat website nama Majapahit.com dan Tristar.com sudah ada yang
memakai. Begitu pula nama Matoa.com. “Akhirnya saya pakai nama matoa.info.com,”
jelasnya. Nah, dengan adanya Matoa.info ini, telah mengilhaminya untuk membuat
majalah sendiri sebagai sarana info tentang seluk beluk Majapahit Tourism
Academy (Matoa)
Terlebih lagi, kata Matoa mudah diucapkan dan semua orang tahu bahwa Matoa
juga dikenal sebagai nama buah terkenal di Papua. “Cuma saya tidak pernah tahu
buah dan rasanya,” aku Juwono seraya mengaku tidak punya pikiran filosofis
ketika memilih nama institusi yang akan dipatenkan itu.
Yang pasti, dia berharap Matoa nantinya memliki branding yang tak kalah
ngetopnya dari Tristar dan Akpar Majapahit. “Saya berharap bisnis-bisnis kami
mulai dari bisnis café, travel dan klinik kecantikan, hotel dan restoran akan
di-manage Matoa. Site bisnis kami nanti di-manage by Matoa,” jelas Juwono.
“Kalau Jawa Pos punya Radar-Radar di daerah-daerah. Salim Group juga punya
perusahaan seperti Indofood dan Indo-Indo lainnya. Kami juga punya Matoa di
mana-mana,” tegasnya.
Itu sebabnya, dia perlu menamai media internalnya dengan Matoa. Terbitnya
majalah mini ini, semua informasi tentang Matoa akan tersampaikan sesuai dengan
keinginan manajemen. “Kalau kita punya media sendiri, semua memori akan
terabadikan. Pasti akan bisa disimpan dan bermanfaatkan buat mereka (mahasiswa)
setelah lulus nanti,” ungkap Juwono. (*)
Untuk Informasi
Pendaftaran, Silakan menghubungi:
081233752227, 081357866283, 081336563094, 081234506326.
Atau anda bisa juga add BB PIN:
081233752227, 081357866283, 081336563094, 081234506326.
Atau anda bisa juga add BB PIN:
2A1CE131,
2B517ECB, 2B425821, 2A6A1F4E.
Kunjungi juga web resmi kami di
http://www.majapahit.org ; www.tristarculinaryinstitute.com
Kunjungi juga web resmi kami di
http://www.majapahit.org ; www.tristarculinaryinstitute.com
Bergabunglah
dengan AKADEMI PARIWISATA MAJAPAHIT - For The Best Future.
0 komentar:
Posting Komentar